Mudahanah dan kaitannya dengan al-Wala’ wal-Bara’
Seorang muslim yang telah menyatakan ikrar hanya Allah semata sebagai Tuhan yang layak disembah dan tiada Tuhan selain-Nya. Maka haruslah selalu tunduk dan patuh atas segala perintah-Nya serta berserah diri seluruh hidup dan matinya hanya untuk Allah. Sebagai bentuk konsekwensi dari implementasinya, seorang muslim haruslah menunjukkan sikap cinta dan benci karena Allah saja melalui prinsip al-Wala wal Bara’. Prinsip akidah ini merupakan tanda kesempurnaan iman seorang muslim dan lurus tidaknya tauhid hanya kepada Allah.
Wujud dari prinsip Al Wala ini adalah mencintai, berkasih sayang, lemah lembut, persaudaraan dan loyalitas terhadap sesama muslim sebagaimana yang diperintahkan Allah. Sedangkan wal Bara’ adalah menunjukkan kebencian kepada yang Allah benci, yaitu membenci musuh-musuh Allah seperti orang kafir dan musyrikin dengan menjauhi dari mereka, memisahkan diri darinya, dan berlepas diri dari segala bentuk kekufuran dan pelakunya.
Ketegasan dalam loyalitas dan permusuhan bagi setiap muslim harus ditampakkan dengan nyata sebagaimana, dalam surat Al-Kafirun.
قُلۡ یَـٰۤأَیُّهَا ٱلۡكَـٰفِرُونَ لَاۤ أَعۡبُدُ مَا تَعۡبُدُونَ وَلَاۤ أَنتُمۡ عَـٰبِدُونَ مَاۤ أَعۡبُدُ وَلَاۤ أَنَا۠ عَابِدࣱ مَّا عَبَدتُّمۡ وَلَاۤ أَنتُمۡ عَـٰبِدُونَ مَاۤ أَعۡبُدُ لَكُمۡ دِینُكُمۡ وَلِیَ دِینِ.
Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”.
(Surat Al-Kafirun : 1 – 6)
Yang sangat erat kaitannya dengan hal ini diantaranya adalah masalah mudahanah dan mudarah yang harus dipraktekkan dengan benar sesuai petunjuk syariat.
Mudahanah artinya berpura-pura, menyerah dan meninggalkan kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar serta melalaikan hal tersebut karena tujuan duniawi atau ambisi pribadi. Maka berbaik hati, bermurah hati atau berteman dengan ahli maksiat ketika mereka berada dalam kemaksiatannya, sementara ia tidak melakukan pengingkaran padahal ia mampu kelakukannya maka itulah mudahanah.
Kaitan mudahanah dengan al-wala’wal bara’ tampak dari arti dan definisi yang kita paparkan tersebut, yaitu meninggalkan pengingkaran terhadap orang-orang yang bermaksiat padahal ia mampu melaksanakannya. Bahkan sebaliknya ia menyerah kepada mereka dan berpura-pura baik kepada mereka.
Hal ini berarti meninggalkan cinta karena Allah dan permusuhan karena Allah. Bahkan ia semakin memberikan dorongan kepada para pendurhaka dan perusak. Maka orang penjilat atau mudahin seperti ini termasuk dalam firman Allah Subhannahu wa Ta’ala:
“Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan ‘Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir (musyrik).” (Al-Ma’idah: 78-80)
Mudarah serta pengaruhnya terhadap al-wala’ wal bara’
Mudarah adalah menghindari mafsadah (kerusakan) dan kejahatan dengan ucapan yang lembut atau meninggalkan kekerasan dan sikap kasar, atau berpaling dari orang jahat jika ditakutkan kejahatannya atau terjadinya hal yang lebih besar dari kejahatan yang sedang dilakukan.
Dalam sebuah hadits disebutkan: “Sejahat-jahat kamu adalah orang-orang yang ditakuti manusia karena mereka khawatir akan kejahatannya.” (HR. Ibnu Abu Dunya dengan redaksi senada)
Dari Aisyah Radhiallaahu anha bahwasanya seorang laki-laki meminta izin masuk menemui Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam, seraya berkata, “Dia saudara yang jelek dalam keluarga”. Kemudian ketika orang itu masuk dan menghadap Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam beliau berkata kepadanya dengan ucapan yang lembut. Maka Aisyah berkata, “Engkau tadi berkata tentang dia seperti apa yang engkau katakan”. Maka Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah membenci ‘fuhsy’ (ucapan keji) dan ‘tafahuhusy’ (berbuat keji).” (HR. Ahmmad dalam Musnad)
Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam telah berbuat mudarah dengan orang tadi ketika dia menemui Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam -padahal orang itu jahat- karena beliau menginginkan kemaslahatan agama. Maka hal itu menunjukkan bahwa mudarah tidak bertentangan dengan al-wala’ wal bara’, kalau memang mengandung kemaslahatan lebih banyak dalam bentuk menolak kejahatan atau menundukkan hatinya atau memperkecil dan memeperingan kejahatan.
Ini adalah salah satu metode dalam berdawah kepada Allah. Termasuk di dalamnya adalah mudarah Nabi terhadap orang-orang munafik karena khawatir akan kejahatan mereka dan untuk menundukkan hati mereka dan orang lain.
Dinukil dari Kitab Tauhid jilid 1, DR. Sholih Al-Fauzan.
Repost Ustadz Abu Yusuf Masruhin Sahal, Lc.